Sejenak aku melamun, ingin
rasanya aku mempunyai ayah yang seperti beliau, diusia yang sudah
senjapun masih mau untuk bekerja demi mengisi kegiatan yang
bermanfaat untuk orang lain, meskipun hanya menghasilkan beberapa
rupiah saja..
...................
Bisa dibilang aku
terlahir dari keluarga yang serba kekurangan, dan aku ingat jelas
betapa susahnya ayah dan ibuku mencari nafkah untuk menghidupi aku
dan ketiga kakaku. Kebetulan aku anak paling bontot yang manja, yang
serba gag mau tau, apa yang diminta gag pernah mau mikir dulu dan
selalu ingin di turutin, sungguh anak yang nakal. Namun aku demikian
bukan tanpa alasan, mungkin rasa berontakku yang menghujung yang
kecewa dengan keadaan keluarga serba kekurangan, bahkan tiap hari pun
kadang makan tanpa ada lauk...yang paling ku ingat, mau berangkat
sekolah sarapan hanya dengan lauk 1 telur rebus yang dibagi menjadi
4, bahkan ibuku sarapan sebelum berangkat kerja pun hanya makan pake
sambal. Hemmmm....masa – masa suram yang tak pernah lupa.
Ibuku bekerja
sebagai perangkat desa di rumahku, bukan pegawai negeri pula, hanya
seperti tenaga honorer seumur hidup yang Cuma makan gaji
seperempatnya pegawai pemerintahan. Hampir tidak mungkin diangkat
sebagai pegawai negeri dikarenakan ternyata ijazah ibuku hilang,
yaahh..mungkin kurang beruntungnya ibuku. Beliau memang ibu yang
tangguh, ibu terbaik yang aku miliki, mungkin karena ayahku yang
menyebabkan beliau menjadi seorang wanita, seorang ibu yang diusia
tuanya pun masih giat dan menjadi tumpuan nafkah bagi keluargaku..
Ayahku.... aku
sedikit kecewa dengan beliau, bahkan punya perasaan yang marah dengan
beliau, kenapa juga aku mempunyai ayah yang hanya berpangku tangan
setelah kehilangan pekerjaan. Tanpa ada
semangat untuk bangkit dari keterpurukan setelah usahnya tutup. Yang
aku tahu, sebenarnya ayahku seorang yang rajin bekerja, dulu...
diwaktu kakakku yang prtama lahir, masih kecil, hingga kakakku ketiga
lahir, namun setelah aku lahir ayahku sudah tidak bekerja lagi.
Banyak yang bilang aku kurang beruntung sejak kecil, sejak kecil
hanya menikmati sisa – sisa cerita kebahagiaan yang masih bisa aku
dengar, kebahagiaan dikala keluargaku masih berjalan menanjak.
Ayahku, dulu mempunyai usaha di bidang seni patung dari kuningan,
karyanya yang paling bagus adalah membuat salib dari kuningan dan
membuat patung – patung budha, pewayangan dari kuningan pula. Karya
ayahku yang ssampai sekarang masih terpajang adalah tulisan “WADUK
WONOREJO” yang terletak di depan kantor bendungan tersebut. Namun
kebanggaan tersebut sekarang sudah tinggal cerita saja. Sejak
usahanya bangkrut dan sepi peminat akhirnya gulung tikar dan ayahku
tetap diam tanpa ada usaha untuk bangkit, yang berimbas kepada
keluargaku. Bahkan diwaktu kecilpun aku jarang dan hampir tidak
pernah minum susu kaleng, yang ada cuma ASI dan minum air endapan
nasi yang dimasak yang sering disebut “tajin”. Hingga aku tumbuh
jadi anak yang mengerti betapa kurang beruntungnya aku terlahir.
Ayahku, sejak kehilangan
pekerjaan hanya bekerja sebagai makelar yang kurang bisa diandalkan
penghasilanya, namun lebih banyak nganggurnya di rumah, atau sering
disebut pengacara (pengangguran banyak acara), praktis semuanya
bertumpu pada ibu yang berpenghasilan pas – pasan.
Namun aku
tetap beruntung dan bersyukur atas apa yang terjadi dalam keluargaku,
aku terlahir menjadi orang yang tahan banting, tegar dalam situasi
apapun, bahkan dikala beranjak dewasa aku mengerti arti dari sebuah
perjalanan hidup melalui pengalaman tiap jengkal langkah yang
menyakitkan. Sakit perasaan maupun sakit badan ini sudah sering
hinggap.
Ayahku... mungkin bisa
jadi karnamu aku jadi seperti ini, seorang kerdil yang tumbuh besar
tanpa ada hak yang bisa aku dapatkan dari seorang anak, tanpa adanya
uang jajan sewaktu sekolah, tanpa adanya hadiah dikala aku mendapat
peringkat kelas, dan seringnya aku mendapat baju bekas, buku bekas,
jaket bekas, dan semuanya bekas kakak – kakakku untuk aku pakai
menjadi jubah dan melangkah menjalani hidup ini. Andai ayah masi
mempunyai rasa untuk berusaha dan giat bekerja meskipun telah jatuh,
aku pasti akan mendapat suka layaknya teman – temanku yang sedang
beruntung. Kapan aku mendapat yang baru darimu? Dan ternyata aku
harus mendapatkan sesuatu yang baru dari jerih payahku sendiri.
Kadang rasa iri ini terus
mengganggu jalan hidupku, aku iri dengan mereka, teman-temanku yang
sering pamer mendapat hadiah dari ayahnya. Sedangkan aku hanya ikut
merasakan sedikit kebahagian mereka.
........................
Ayah, hari ini aku melihat
seorang tua yang masi giat mencari dan mengais rejeki demi
keluarganya, kenapa ayah dulu tidak seperti mereka?
Dan sekarang aku baru
tersadar, bahwa aku memang kurang beruntung, namun aku tidak akan
sedikitpun menyesali apa yang telah kau berikan untukku, tanpa
peranmu dalam keluargaku aku tidak akan bisa menjadi seperti ini.
Hanya doa dan kesabaranmu
untuk mendidik anak – anakmu, yang tak pernah aku lupakan.
Maafkan aku, kadang
aku ingin marah denganmu, marah dengan hidupku yang seperti ini,
marah dengan nasibku yang harus aku lalui
dengan keburukan hingga aku terjatuh dalam kebodohan meskipun aku
sedikit – demi sedikit mendapatkan pelajaran dari sisi hidupku yang
kotor. Andai...andai...andai...dan andai.... Cuma ini yang bisa aku
bayangkan ketika aku melihat si tua yang perkasa itu..
Hai pak tua,, semoga
jerih payahmu tidak akan sia- sia bagi keluargamu...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar