Hanya sebuah kata yang ingin keluar dari pena....

Sudah cukup.... aku akan berjalan dengan kaki yang terdapat luka gores, dan tanganku akan tetap melambai meskipun membawa beban berat dalam genggaman, tapi aku puas....puas...dengan melihat setitik sinar hangat yang kelak akan menemaniku selamanya...

Rabu, 17 Oktober 2012

lamunan

Sejenak aku melamun, ingin rasanya aku mempunyai ayah yang seperti beliau, diusia yang sudah senjapun masih mau untuk bekerja demi mengisi kegiatan yang bermanfaat untuk orang lain, meskipun hanya menghasilkan beberapa rupiah saja..
...................
Bisa dibilang aku terlahir dari keluarga yang serba kekurangan, dan aku ingat jelas betapa susahnya ayah dan ibuku mencari nafkah untuk menghidupi aku dan ketiga kakaku. Kebetulan aku anak paling bontot yang manja, yang serba gag mau tau, apa yang diminta gag pernah mau mikir dulu dan selalu ingin di turutin, sungguh anak yang nakal. Namun aku demikian bukan tanpa alasan, mungkin rasa berontakku yang menghujung yang kecewa dengan keadaan keluarga serba kekurangan, bahkan tiap hari pun kadang makan tanpa ada lauk...yang paling ku ingat, mau berangkat sekolah sarapan hanya dengan lauk 1 telur rebus yang dibagi menjadi 4, bahkan ibuku sarapan sebelum berangkat kerja pun hanya makan pake sambal. Hemmmm....masa – masa suram yang tak pernah lupa.

Ibuku bekerja sebagai perangkat desa di rumahku, bukan pegawai negeri pula, hanya seperti tenaga honorer seumur hidup yang Cuma makan gaji seperempatnya pegawai pemerintahan. Hampir tidak mungkin diangkat sebagai pegawai negeri dikarenakan ternyata ijazah ibuku hilang, yaahh..mungkin kurang beruntungnya ibuku. Beliau memang ibu yang tangguh, ibu terbaik yang aku miliki, mungkin karena ayahku yang menyebabkan beliau menjadi seorang wanita, seorang ibu yang diusia tuanya pun masih giat dan menjadi tumpuan nafkah bagi keluargaku..

Ayahku.... aku sedikit kecewa dengan beliau, bahkan punya perasaan yang marah dengan beliau, kenapa juga aku mempunyai ayah yang hanya berpangku tangan setelah kehilangan pekerjaan. Tanpa ada semangat untuk bangkit dari keterpurukan setelah usahnya tutup. Yang aku tahu, sebenarnya ayahku seorang yang rajin bekerja, dulu... diwaktu kakakku yang prtama lahir, masih kecil, hingga kakakku ketiga lahir, namun setelah aku lahir ayahku sudah tidak bekerja lagi. Banyak yang bilang aku kurang beruntung sejak kecil, sejak kecil hanya menikmati sisa – sisa cerita kebahagiaan yang masih bisa aku dengar, kebahagiaan dikala keluargaku masih berjalan menanjak. Ayahku, dulu mempunyai usaha di bidang seni patung dari kuningan, karyanya yang paling bagus adalah membuat salib dari kuningan dan membuat patung – patung budha, pewayangan dari kuningan pula. Karya ayahku yang ssampai sekarang masih terpajang adalah tulisan “WADUK WONOREJO” yang terletak di depan kantor bendungan tersebut. Namun kebanggaan tersebut sekarang sudah tinggal cerita saja. Sejak usahanya bangkrut dan sepi peminat akhirnya gulung tikar dan ayahku tetap diam tanpa ada usaha untuk bangkit, yang berimbas kepada keluargaku. Bahkan diwaktu kecilpun aku jarang dan hampir tidak pernah minum susu kaleng, yang ada cuma ASI dan minum air endapan nasi yang dimasak yang sering disebut “tajin”. Hingga aku tumbuh jadi anak yang mengerti betapa kurang beruntungnya aku terlahir.
Ayahku, sejak kehilangan pekerjaan hanya bekerja sebagai makelar yang kurang bisa diandalkan penghasilanya, namun lebih banyak nganggurnya di rumah, atau sering disebut pengacara (pengangguran banyak acara), praktis semuanya bertumpu pada ibu yang berpenghasilan pas – pasan.
Namun aku tetap beruntung dan bersyukur atas apa yang terjadi dalam keluargaku, aku terlahir menjadi orang yang tahan banting, tegar dalam situasi apapun, bahkan dikala beranjak dewasa aku mengerti arti dari sebuah perjalanan hidup melalui pengalaman tiap jengkal langkah yang menyakitkan. Sakit perasaan maupun sakit badan ini sudah sering hinggap.
Ayahku... mungkin bisa jadi karnamu aku jadi seperti ini, seorang kerdil yang tumbuh besar tanpa ada hak yang bisa aku dapatkan dari seorang anak, tanpa adanya uang jajan sewaktu sekolah, tanpa adanya hadiah dikala aku mendapat peringkat kelas, dan seringnya aku mendapat baju bekas, buku bekas, jaket bekas, dan semuanya bekas kakak – kakakku untuk aku pakai menjadi jubah dan melangkah menjalani hidup ini. Andai ayah masi mempunyai rasa untuk berusaha dan giat bekerja meskipun telah jatuh, aku pasti akan mendapat suka layaknya teman – temanku yang sedang beruntung. Kapan aku mendapat yang baru darimu? Dan ternyata aku harus mendapatkan sesuatu yang baru dari jerih payahku sendiri.
Kadang rasa iri ini terus mengganggu jalan hidupku, aku iri dengan mereka, teman-temanku yang sering pamer mendapat hadiah dari ayahnya. Sedangkan aku hanya ikut merasakan sedikit kebahagian mereka.
........................
Ayah, hari ini aku melihat seorang tua yang masi giat mencari dan mengais rejeki demi keluarganya, kenapa ayah dulu tidak seperti mereka?
Dan sekarang aku baru tersadar, bahwa aku memang kurang beruntung, namun aku tidak akan sedikitpun menyesali apa yang telah kau berikan untukku, tanpa peranmu dalam keluargaku aku tidak akan bisa menjadi seperti ini.
Hanya doa dan kesabaranmu untuk mendidik anak – anakmu, yang tak pernah aku lupakan.
Maafkan aku, kadang aku ingin marah denganmu, marah dengan hidupku yang seperti ini, marah dengan nasibku yang harus aku lalui dengan keburukan hingga aku terjatuh dalam kebodohan meskipun aku sedikit – demi sedikit mendapatkan pelajaran dari sisi hidupku yang kotor. Andai...andai...andai...dan andai.... Cuma ini yang bisa aku bayangkan ketika aku melihat si tua yang perkasa itu..
Hai pak tua,, semoga jerih payahmu tidak akan sia- sia bagi keluargamu...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar